Kamis, 02 September 2010

Langkah Kesepuluh

-Langkah Kesepuluh

(untuk Acep Zamzam Noor)

Kepada seorang penyair, aku menitipkan desir. Sebab ia mahir meraut kesepiannya menjadi seruncing pena, lalu begitu ringan menulis berbaris-baris takdir. Sebagian puisinya menyamar sebagai doa, memimpin langkahnya di malam buta. Sebagian lain menjelma angin, niscaya lebih awal menjumpai seberang jazirah, untuk meletakkan segala ingin. Bergegas meraih cintamu, sebelum tubuhnya kaku membiru. Memenuhi relung nurani dan celah pikiran, dengan cahaya yang berpendaran. Ia yang lahir melalui gemerisik rumpun bambu di tepi tasik, mengembara jauh ke negeri-negeri asing. Mencuci perih dengan untai tasbih, melukis seluruh tangis, dan kembali menyadari segenap dosa masih melekat nyeri, sebab tak cukup terbakar api

(untuk Joko Pinurbo)

Kepada seorang penyair, aku menyusupkan getir. Sebab ia pandai menyitir hidupnya yang pahit menjadi semanis gula pasir. Dihibur junjungannya yang syahid dengan semacam wirid. Sebagian syairnya menjadi jubah kaum jelata, bukan untuk mengemis namun berbagi kata-kata: dermanya yang membuat kaum nelangsa itu tertawa. Sepanjang langkah melintas jazirah, berbekal nyala api ironi, ditemuinya orang-orang tercinta yang menyerahkan kembali pahala kepada cintamu. Dalam deru yang tak asing itu ia menyaru lagu untuk dinyanyikan pada sebuah sakramen. Ia sangat paham tentang tabiatmu, yang tak pernah mengharap balas budi makhlukmu. Dengan kata lain: ia tak pernah bisa membayarmu

(untuk Remy Sylado)

Kepada seorang penyair, aku mengangsurkan beling. Sebab ia tahu perangai maling yang dalam banyak penampilan bermata bening. Gelap-terang masa lalu telah memperkaya beban di punggungnya untuk dipikul menyeberangi jazirah. Ia berkemah di lembah yang tumbuh menjadi desa dan dewasa berwujud kota. Diteguknya cuka anggur untuk membasuh luka mazmur, hampir tiap malam saat satu-satunya sahabat adalah kelam. Panggung hidupnya dicincang pelbagai peristiwa, sulit membedakan antara dusta dan cinta, tapi ia senantiasa percaya: dirimu ada di mana-mana. Ia membujuk kata-kata untuk berhimpun dalam pikirannya, menyalinnya menjadi suara, mengasahnya menjadi katana untuk menusuk para penguasa

(untuk D Zawawi Imron)

Kepada seorang penyair, aku menyerahkan sembilu. Sebab ia perlu membawanya dalam perjalanan mencari ibu yang belum menetak tali pusarnya dari tanah kelahiran. Di setiap ujung jazirah ia memerah kata menjadi pusara untuk hari tuanya yang tak kunjung tiba. Ia tak merasa tergelincir menjadi penyair sebagai jalan pilihan, karena ia bahagia tersesat di hamparan kebenaran. Dari waktu ke waktu, memendam rindu pada ibu dan cintamu. Menghunus alif sebagai pelita untuk menerangi jalannya, membenamkan pilu dalam tawa, sampai kering air mata. Seperti pacu pinisi ia berpikir, serupa sungai mengalir ia berzikir, hingga suaranya habis namun meninggalkan jejak mirip purnama lingsir


10 Ramadan 1431, 20 Agustus 2010
Kurnia Effendi

Salam puisi cinta....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar