Selasa, 14 September 2010

Mak Ijah - Puisi cinta

Mak Ijah
Oleh : D. Dudu A. R.

[Awal]

Serunai angin dari sawah menggugah tenung naluri tua
Melentera kejora di kepala nanar, terbangun dari kasur lapuk
Demi dini hari, sambut bintang timur untuk mewudlu muka
Jemput waktu yang semakin sempit untuk bercumbu denganNya

Selaput mata kemuning; berjuang sesayup-sayup kehidupan di depan
Tak menjadi rintangan berarti untuk menjalani keadaan; tidak memihak.
Raga yang kian mengeriput, mengulit kerut, tetap tegar berjelaga di shubuh
Bernyanyi bersama panggilan Tuhan yang semakin rampak dilagukan


[Tengah]

Kebun, suluh dan gubuk adalah teman sejati
Begitu pula keseharian yang tidak mengenal harta melimpah
Meniup selongsong bara di hawu yang kumuh sebagai rutinitas
Hanya untuk menyajikan sarapan cucu-cucu tersayang

Berganti hari tak ada beda dengan hari kemarin
hanya mencari kayu untuk mendapatkan sesuap nasi saja
Itupun, kadang tidak sesuai dengan kebutuhan
Karena, semakin maju negeri ini adalah kesengsaraan

Betapa tidak, pepohonan rimbun disulap menjadi apartemen
Tanah perkebunan dimanipulasi pusat perbelanjaan mewah
Tidak berarti untuk Mak Ijah, karena ladangnya adalah alam
Baginya, pemimpin yang adil adalah bumi ini yang tercinta


[Akhir]

Tujuh dasawarsa ia bersahabat dengan kemiskinan
Menunggu senja yang berakhir kepiluan, karena renta.
Ketidakberdayaan merebahkan tubuhnya yang lemah
Menunggu mati adalah kawan, disetiap raungan ruang derita

Anaknya yang sempat pamit ke Malaysia, adalah harapan hampa
Karena surat terakhir yang diterima, adalah uang pinjaman tetangga
Semakin tidak terjaga ragiwa rimpuh yang tinggal belulang adanya
Bangku bambu penopang tidurnya, adalah teman setia di siang malam

Cucunya yang masih ada, tak mampu jua semaikan jerih payah
Karena, untuk menjadi 'orang' saat ini adalah khayalan di sayup bulan
kekecewaan yang seharusnya membunuh dirinya, tak mampu melukai kecintaan
Atas sayap-sayapnya yang masih mengepak, meskipun tak sekuat dahulu terbangkan cita

Melagukan kidung indah di sisa waktu, memilin jiwa rapuh yang memang peluh
Berpintal semangat yang kian redup, tak melentera di hati pejuang yang terpuruk
Tak pernah menyalahkan nasib, tak pernah menuntut hak, tak pernah meminta apapun
Dari pemerintah ataupun sebangsanya. Dia adalah dia yang tak kenal hak untuk dirinya

Kirana yang memijar di aura nyawanya kian gulita, pertanda dirinya akan segera kembali
Untuk pergi ke pangkuanNya, selamanya.
Satu-satunya harta adalah wasiat terakhir yang mendesis, berpetuah peribahasa;

”Wahai cucu-cucuku tercinta, pulangkan ibumu dari Malaysia!”

Dan setelah itu; ”Laa Ilaa Ha Illallah Muhammadarrasuulullaah”


Tasikmalaya, 21 Desember 2009

Salam puisi cinta....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar